Senyuman Takdir
Senyuman Takdir
Aku tidak pernah menyangka bahwa perjalanan singkat ke
Makassar akan mengubah hidupku selamanya. Di usiaku yang baru menginjak 21
tahun, aku hanyalah seorang pemuda yang tenggelam dalam lautan hafalan
Al-Qur’an, belajar dan mengajar di Wadi Mubarak. Pernikahan bukan sesuatu yang
ada dalam pikiranku saat itu. Namun, sebagaimana takdir bekerja dengan caranya
sendiri, aku dipertemukan dengan seseorang yang kini menjadi bagian tak
terpisahkan dari hidupku.
Semua bermula ketika aku memiliki santri dari Makassar.
Dalam satu kesempatan, aku berkunjung ke sana untuk sekadar jalan-jalan dan
melihat lebih dekat kehidupan santri yang pernah belajar denganku. Tidak ada
firasat apa pun, hanya perjalanan biasa. Di saat yang bersamaan, kedua orang
tuaku juga datang ke Makassar. Mereka ingin bersilaturahim dan mengenal lebih
jauh masyarakat setempat.
Sebelum keberangkatan, aku sempat meminta nasihat kepada
ayahku. “Ayah, di usiaku sekarang, apakah aku sudah pantas untuk menikah?”
tanyaku penuh harap. Aku ingin tahu bagaimana pandangan beliau tentang
pernikahan di usia muda.
Namun, jawaban ayahku mengejutkanku. “Belum, Nak. Ini bukan
saat yang tepat,” katanya tegas. Aku menerima jawaban itu dengan lapang dada,
meskipun dalam hati aku tetap bertanya-tanya. Mungkin memang belum waktunya.
Takdir berkata lain. Saat kami tiba di Makassar, ayahku
melihat sesuatu yang berbeda. Entah apa yang merubah pandangannya, tapi
tiba-tiba beliau berubah pikiran. Tanpa banyak basa-basi, beliau melamarkan
seorang gadis untukku. Seorang gadis yang bahkan aku tidak pernah mengenal
sebelumnya.
Namanya... (biarlah tetap menjadi rahasia takdir). Dia baru
berusia 16 tahun dan belajar di Darul Istiqamah Maccopa. Sama sepertiku, dia
juga seorang penghafal Al-Qur’an. Keputusan itu datang begitu cepat, bahkan aku
sendiri tidak memiliki banyak waktu untuk berpikir. Antara kedatangan kami ke
Makassar dan hari pernikahan hanya berselang lima hari.
Lima hari yang terasa seperti mimpi. Aku tidak tahu harus
berbuat apa, tapi aku percaya pada keputusan orang tuaku. Aku percaya bahwa ini
semua sudah tertulis dalam skenario Allah. Dan akhirnya, di tahun 2014, dengan
akad sederhana namun penuh makna, aku resmi menjadi seorang suami.
Hari-hari awal pernikahan tentu penuh dengan penyesuaian.
Kami berasal dari latar belakang yang berbeda, tidak pernah mengenal satu sama
lain sebelumnya, dan harus belajar memahami satu sama lain dari nol. Tapi,
perlahan-lahan kami menemukan ritme kami sendiri. Al-Qur’an menjadi pengikat
kami. Setiap lembar hafalan yang kami ulang bersama menjadi penguat dalam
perjalanan rumah tangga kami.
Kini, sepuluh tahun telah berlalu sejak hari itu. Pernikahan
kami telah melewati berbagai fase, dari suka hingga duka, dari tawa hingga air
mata. Namun, satu hal yang selalu kami yakini: semua ini adalah takdir yang
terbaik dari Allah.
Jodoh memang di tangan-Nya, tapi kita harus selalu berusaha
memperbaiki diri. Karena jodoh adalah cerminan kualitas diri. Jika kita ingin
pasangan yang baik, maka
kita harus menjadi pribadi yang baik pula.
Senyuman takdir telah mempertemukan kami. Dan kini, kami
melangkah bersama, meniti kehidupan dalam bimbingan-Nya, dengan harapan bahwa
perjalanan ini akan selalu diberkahi, hingga ke surga-Nya kelak.
Seiring berjalannya waktu, kami semakin saling mengenal dan
memahami satu sama lain. Ada kalanya perbedaan pendapat muncul, tapi kami
selalu mengingat bahwa pernikahan bukan sekadar menyatukan dua insan, melainkan
juga menyatukan dua keluarga, dua pemikiran, dan dua cara pandang yang mungkin
berbeda. Aku belajar bahwa kunci dari semua ini adalah komunikasi dan saling
menghormati.
Kini, di usia pernikahan kami yang ke-10, aku semakin sadar
bahwa pernikahan bukan hanya tentang berbagi kebahagiaan, tetapi juga tentang
membangun sesuatu yang lebih besar bersama. Takdir yang mempertemukan kami
bukan hanya untuk saling mencintai, tetapi juga untuk menjalankan misi hidup
yang telah Allah gariskan untuk kami.
Aku selalu bersyukur atas perjalanan ini. Senyuman takdir
yang dulu menyatukan kami, kini telah berubah menjadi senyuman penuh keberkahan
yang terus kami syukuri setiap harinya. Semoga Allah selalu menjaga rumah
tangga ini, memberikan kami keturunan yang saleh dan salehah, serta
mengantarkan kami pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Belum ada Komentar untuk "Senyuman Takdir"
Posting Komentar